Jumat, 18 November 2011

HARAPANKU

Di saat aku membuka mata di pagi ini
Aku bersyukur kepada-Nya
Ternyata, aku masih diberi nikmat untuk melihat indahnya dunia
Walau tanpa dirinya yang pernah mengisi hariku

Walau tak secerah dahulu
Tetapi masih ada pelangi yang dapat
melukiskan indah kilauan warnanya
Kilauan warna yang kuharap dapat
memberi warna kehidupan di lembaran baruku
Aku berharap tak ada kesedihan di hari ini

Kalau pun ada, aku berharap dapat segera terhapus oleh canda
tawa dan kebersamaan dengan sahabat dan orang terkasih lainnya
Aku ingin tegar seperti batuan karang
Aku ingin semuanya berjalan apa adanya,
mengalir seperti air
Menunggu hingga kemana aku bermuara

Waktuku hanya untuk melupakan masa lalu dan melewati hari esok
Hanya kepada-Mu aku berpegang teguh
Tunjukkan jalan terbaik untukku, Tuhan
Di saat malam menjelang, aku hanya
dapat merelakan yang terjadi hari ini
Dan di esok pagi aku hanya dapat menjalaninya seperti air

Pagi ini aku berhenti menangis
Karena aku mencoba menerima kenyataan
Terkadang, bayangan masa lalu
membuatku tak dapat merasakan hal bahagia
Aku ingin melihat senyum kecilnya

Memeluknya, merasakan kehangatan dan kasih sayangnya
Sekejap saja
Jangan biarkan ia berubah  dan meninggalkanku
Izinkan aku merasakan kedamaian dan kesederhanaan bersamanya

Namun aku sadar, semua hanyalah
masa lalu yang takkan pernah terulang
Walau kini kau tak dapat memberikan rasa itu kepadaku lagi,
tapi izinkan aku menyimpan dan mengenangnya sangat dalam di hatiku

Semuanya akan ku jaga dengan baik
Semuanya aku simpan di tempat paling indah
Karena kau salah satu yang berharga di hidupku
Aku kuat karena aku tahu hidup terus berjalan

Kalau saja kutahu itu hari terakhir dimana kita
bisa tertawa bersama
Mungkin aku takkan berhenti tersenyum
Takkan berhenti memandang dan memelukmu
Andai kita tak dipertemukan, pasti aku takkan sesulit ini melupakanmu

Tapi inilah kuasa-Nya
Hingga aku dapat merasakan betapa berharganya
sebuah CINTA
Izinkan aku bahagia, Tuhan
Bahagia bersamanya
SELAMANYA

Nilam Qisthia Nadhila

Ayah

Ayah...
Hari berganti hari ku lewati
Tanpa kehadiranmu di sisiku


Andai engkau tahu betapa rindunya aku
Aku hanya dapat melihat foto keluarga kita
Sebingkai senyuman indah yang tampak di sana


Namun, kini kenyataan hidup bertolak belakang
Aku dan ibu tak dapat tersenyum indah seperti dahulu
Engkau pergi meninggalkan kami di sini


Sering aku sembunyikan tangis ini
Karena ku tak ingin membuat ibu bersedih
Aku ingin tegar seperti batuan karang
Tapi hati ini tak sekeras batuan karang
Hati ini selalu memaafkanmu, Ayahku...


Tersenyumlah saat kau mengingatku
Karena saat itu, aku sangat merindukanmu
Bagaimanapun keadannya, engkau tetap Ayahku
Ayah yang slalu memberikan kasih sayang kepada anaknya


Mungkin ada mantan sahabat, tapi tidak ada mantan anak
Dengarlah Ayah, aku menyayangimu setulus hatiku
Raga kita memang terpisah jauh
Tapi ingatlah ikatan batin itu tetap ada


Namamu selalu ada dalam doa yang kupanjatkan pada-Nya
Memohon kebahagiaan untukmu
Segalanya yang terbaik untukmu, Ayahku...

Nilam Qisthia Nadhila

CERPEN PERPISAHAN

HANS, tiap kali kita berdiri di tepi sungai itu, kamu selalu mengatakan hal yang sama, seraya menunjuk permukaan sungai yang kehijauan dan memantulkan bayangan kita: mereka menemukan tubuh Rosa*) di sini. Alirannya membelah kotamu, mengalir sampai ke Berlin, kota terakhir yang kamu bayangkan sebagai tempat memulai kehidupan baru setelah letih mengelana dan menjauhinya berulang kali.
Tiga hari setelah ibumu meninggal, kamu, kembaranmu Fabian dan ayahmu pergi ke Sungai Spree dan mengenang masa silam yang kini bagai mimpi. Sejak itu kamu ingin lebih dekat dengan mereka. Kamu akan mengunjungi ayahmu sebulan sekali setidaknya jika menetap dan bekerja di Berlin.
Kita sekarang berdiri dan menatap sungai yang sama, di bagian tubuhnya yang lain.
”Hampir tiga belas tahun saya meninggalkan rumah orangtua saya. Setelah Ibu tidak ada, keinginan saya untuk menengok rumah jadi lebih kuat. Kamar saya juga masih ada,” katamu memandang ke seberang sungai.
Sudah dua kali kita bertemu di kota ini. Setelah seminar tentang negara-negara berkembang dan masalah-masalah yang tidak pernah selesai, kita bergegas mencari tempat untuk minum kopi dan menghirup udara luar. Bedanya, ibumu sudah tidak ada.
Namun, ibumu tidak pergi seperti Rosa. Ia meninggal dalam kamar yang tenang ketika kamu tengah mengemudi dengan kecepatan tinggi untuk menemuinya terakhir kali.
Empat hari sebelum itu, ia minta dipindahkan ke sebuah rumah tempat orang-orang menunggu kematian. Ia ingin menyongsong mautnya sendiri.
Seperti apa ibumu waktu hidup, aku ingin tahu, menyesal tidak sempat bertemu dan mulai hanyut dalam kenangan kematian itu.
”Ibu saya seorang guru, kepala sekolah yang baik dan serius bekerja, sangat memperhatikan anak-anaknya, sedikit tidak sabar, dan kadang-kadang khawatir,” katamu.
Kamu menatapku, tapi sebenarnya tidak sungguh-sungguh. Kamu melihat seseorang yang tidak ada.
”Ibu saya meninggal dengan berani.” Kali ini kamu berseru sambil mengamati permukaan sungai yang mulai bergetar. Bayangan hijau kita masih di situ.
Tidak ada yang ganjil dan keliru dalam pilihan ibumu. Sebagian tubuh yang sekarat sama seperti dia. Mereka sengaja menjauh dari siapa pun yang mengenalnya, yang pernah mesra. Mereka sengaja mencipta jarak yang kelak akan terus memanjang ketika perpisahan itu benar-benar datang.
Ibumu ingin kalian terbiasa dengan ketidakhadirannya atau ia memang ingin melepas semua ikatan dengan kehidupan lebih dini, seperti menuang ikan-ikan kecil di akuarium ke dalam sungai ini dengan kesadaran untuk tidak mencari mereka lagi dan memang mustahil. Ia bahkan berkata pada ayahmu untuk mencari seseorang yang lain sebagai penggantinya. Ia juga sudah melepas ikatan mereka yang membuat kamu dan Fabian ada.
Kamu masih ingat suatu hari bersama ibumu. Musim panas terakhir. Fabian belum kembali dari Frankfurt karena ia harus menunggu pembukaan pameran lukisannya. Ayahmu di lantai bawah. Dari jendela apartemen, puncak-puncak gedung dan langit bersih terlihat jelas dan seolah lebih nyata dari hari-hari sebelumnya karena baru sekarang perhatianmu benar-benar tercurah pada pemandangan di luar sana, ketika tidak banyak yang menyita pikiran kecuali sosok kurus yang terbaring sakit di ranjang.
Ibumu tiba-tiba berkata, lirih, ”Hidup saya begitu indah.”
Kamu tertegun. Tidak percaya Ibumu mengucap kalimat itu, kata-kata yang sangat dalam maknanya dan menghapus seketika sedih yang muncul dari rasa tidak berdaya sekaligus kegagalan untuk berbuat lebih baik dan lebih sering terhadapnya sejak dulu.
Setelah itu, ia tidak berkata sepatah kata pun selama hampir tiga jam. Kamu memijat lembut kaki-kakinya. Kamu belum siap berpisah.
Ketika suara ibumu benar-benar hilang karena sakit yang makin parah, percakapan kalian bertukar dengan sentuhan, sama seperti saat kamu lahir dulu, saat terdorong keluar dari rahimnya yang hangat. Kamu mencari-cari tubuhnya dan sentuhan ibumu adalah rasa aman dan tenang. Kamu ibarat ulat mungil dalam sebuah kepompong, sebelum menjadi kupu-kupu dan terbang.
”Saya sudah pergi ke mana-mana, kadang meninggalkan negara ini dan sekarang saatnya tinggal. Tapi sebenarnya negara yang mana ya? Negara saya sudah tidak ada,” tuturmu seraya tertawa.
Usiamu 10 tahun saat tembok itu hancur. Orang-orang di timur bebas pergi ke barat, lalu kata ”timur” dan ”barat” itu benar-benar lenyap.
Kesenyapan dalam kamar ibumu masih terasa dalam hati, di satu bagian yang selalu kosong setelah ia pergi. Kesenyapan itu pernah menjelma luka yang dalam dan kini bekasnya tetap ada.
”Selalu di sana.” Kamu meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Barangkali orang-orang yang lewat menyangka kita pasangan kekasih.
Di kamar ibumu, benakmu dipenuhi kenangan dari masa kanak-kanak, masa yang sudah lama berlalu serta paling berarti dari semua kenangan, dan inilah yang ganjil dari bagian yang seharusnya sayup itu: semua kesedihan dan kebahagiaan berasal dari sana, ada di masa kini dan terbawa ke masa depan. Suatu hari kamu, Fabian, dan orangtuamu tamasya ke pantai. Angin bertiup dari Laut Baltik. Kamu berlari-lari di pasir. Ibumu berdiri di pinggir pantai, memandang kejauhan. Kamu merasakan butir-butir pasir yang hangat, melihat ombak putih bergulung-gulung. Tiba-tiba ibumu menoleh ke arahmu, melambai seraya tersenyum.
”Musim panas seharusnya lebih panjang.” Suaramu terdengar jauh dan kelam.
Kutatap matamu yang coklat dan ingin mengatakan sesuatu, lalu menganggapnya tidak lagi perlu. Mungkin nanti saja, saat kita punya waktu lebih panjang atau saat kamu sudah siap. Tapi kelihatannya waktu kita pendek, tidak pernah terulang. Apa ya nama perasaan semacam ini? Rasanya seperti sesak dan aku memang mengidap asma. Kamu tersenyum, lalu menatapku sungguh-sungguh, ”Mungkin itu namanya kesedihan.” Setelah itu, kamu melihat ke sungai dan berkata lagi, datar dan pelan, ”Saya tidak tahu. Mungkin juga bukan kesedihan. Hanya kamu yang tahu.” Kita sama-sama menghela napas.
Ayahmu juga terlambat sampai di rumah itu. Perawat mengabarkan bahwa kematian datang lima menit yang lalu dan Ibumu telah pergi bersamanya. Suntikan morfin membuat rasa sakit sama sekali tidak mengganggu prosesi itu, perawat meyakinkan ayahmu yang pucat dan sedih. Ayahmu lantas menghibur diri lebih keras bahwa inilah cara pergi yang diinginkan istrinya.
”Ayah sudah punya seseorang sekarang, yang dia sedikit cinta. Saya senang dia kembali hidup”. Kamu terdengar merestui hubungan mereka.
Udara dingin. Apakah kita akan makan siang di restoran yang sama? Seperti tahun lalu?
”Kita makan di restoran yang sama saja, ya. Pelayannya mungkin masih ingat kita.”
Aku benar-benar letih. Kita melangkah bersisian, meninggalkan tepi sungai. Pohon-pohon menaungi kita. Daun-daun berguguran di trotoar. Kamu sudah memiliki seseorang.
Semalam kamu mimpi aneh.
”Dalam mimpi itu saya berbaring dan ketika saya membuka mata saya, saya melihat Ibu saya berbaring di arah yang berlawanan. Saya lalu bertanya kepadanya, bukankah Ibu sudah meninggal. Ibu saya bilang, dia belum meninggal, tapi hanya koma. Waktu itu saya panik sekali, waduh, bagaimana ini Ibu saya kok hidup lagi padahal Ayah saya sudah dengan seseorang.” Kamu menghela napas.
”Mungkin saya belum sepenuhnya bisa menerima orang lain yang menggantikan Ibu saya dalam hidup Ayah.”
Tiba-tiba kamu berhenti melangkah, ”Tolong kamu pikirkan ini baik-baik. Jangan hidup sendirian. Siapa pacarmu sekarang?”
Aku merengkuh pundakmu, mengajakmu terus melangkah, tiada berkata-kata. Kamu tertawa. Rasanya enak berjalan seperti ini.
”Sudah lama, ya, kita tidak berjalan seperti ini.” Kamu memelukku.
Atau kukatakan saja sekarang?
Tapi aku malah bercerita tentang kematian Ayahku. Setelah dia meninggal, aku pulang ke rumah sebentar untuk menengok ibuku.
Di kamar orangtuaku, ada satu lemari besar khusus untuk menyimpan barang-barang ayah agar tidak berdesakan dengan milik ibu di lemari yang lain. Aku membukanya, melihat pakaianpakaian Ayah tergantung dan terlipat rapi. Waktu kubuka salah satu laci, kutemukan baju baletku waktu berusia tujuh tahun, sepatu baletku yang tali-talinya telah kumal, kacamata-kacamataku waktu di sekolah dasar, jepit-jepit rambut dengan hiasan beruang kecil.
”Barangkali Ayahmu merindukan kamu yang tidak pernah pulang dan benda-benda itu menghiburnya,” katamu pelan.
Udara benar-benar dingin. Patung beruang di muka satu galeri itu tampak begitu tua.
Hans, kita tidak akan bertemu lagi tahun depan atau bahkan sebelum tahun itu tiba. Setelah meninggalkan Berlin, aku akan menulis surat terakhir untukmu: tentang sel-sel penyakit yang berkembang dan menjalar dalam kesenyapan, dan hari-hari yang tidak akan kita miliki lagi di mana pun.***
*) Rosa Luxemburg, seorang tokoh sosialis Jerman. Dia meninggal ditembak pada 1919, mayatnya dibuang ke sungai.
Kompas, Minggu, 24 Juli 2011

Selasa, 15 November 2011

Sajak Rajawali


sebuah sangkar besi
tidak bisa mengubah rajawali
menjadi seekor burung nuri


rajawali adalah pacar langit
dan di dalam sangkar besi
rajawali merasa pasti
bahwa langit akan selalu menanti


langit tanpa rajawali
adalah keluasan dan kebebasan tanpa sukma
tujuh langit, tujuh rajawali
tujuh cakrawala, tujuh pengembara


rajawali terbang tinggi memasuki sepi
memandang dunia
rajawali di sangkar besi
duduk bertapa
mengolah hidupnya


hidup adalah merjan-merjan kemungkinan
yang terjadi dari keringat matahari
tanpa kemantapan hati rajawali
mata kita hanya melihat fatamorgana


rajawali terbang tinggi
membela langit dengan setia
dan ia akan mematuk kedua matamu
wahai, kamu, pencemar langit yang durhaka

WS. Rendra

Kamis, 03 November 2011

Mencintai dan Dicintai

Aku terlahir ke dunia untuk mencintai dan dicintai
Aku terlahir ke dunia bukan untuk melukai dan dilukai
Kadang, saat kita mencintai, kita dilukai
Dan dalam saat yang bersamaan, kita dicintai dan melukai

Saat aku telah bersamanya
Kau datang menyapa
Melukis senyum dalam duka
Memberi semangat dalam nestapa

Menjalin persahabatan
Memberi kenangan yang tak terlupakan
Menoreh kasih sayang yang tak terkalahkan
Memberi kisah dalam kehampaan

Kau menyayangiku
Aku pun menyayangimu
Tapi aku takkan menjadi milikmu
Aku hanya sahabatmu
Aku pun tlah miliki permataku

Hari silih berganti
Semua tlah terbukti
Kasih sayang itu semu tak berarti
Menggores luka di hati

Kini kau tlah temukan bidadari
Bidadari yang kau cintai
Dengan sepenuh hati
Sepanjang waktu yang kau miliki

Waktu terus bergulir
Meninggalkan segala kenangan yang pernah terukir
Memutus asa yang terpikir
Membuat ego tersingkir

Bukan salahmu
Dan juga bukan salahku
Hanya waktu yang memilih kita bertemu
Dalam lingkaran cinta yang semu

Aku bukan membenci dan memusuhimu 
Tapi hanya menjauhimu
Menghindar dari pilu
Agar tak ada cemburu

Nilam Qisthia Nadhila