November tahun ini adalah satu tahun aku
mengenalmu dan Desember tahun ini, tepat satu tahun aku mencintaimu (jika
rasaku masih bertahan). Aku masih ingat awal perkenalan kita. Cinta yang
berawal dari sebuah ‘hai’ akibat kecanggihan teknologi. Sapa pertamamu memiliki
arti, untukku. Ternyata setiap harinya kita berada di gedung yang sama. Sebuah
‘hai’ yang tidak bertahan lama. Namun ternyata, Tuhan mempertemukan kita dalam
beberapa kejadian di gedung itu, yang tentunya tak perlu kusebutkan satu per satu.
Kata orang, kebetulan tidak terjadi berkali kali. Sedangkan kebetulan yang ada
dalam kisah ini terjadi lebih dari tiga kali sehingga terjadilah sapa-menyapa
di antara kita . Kebetulan atau takdirkah ini? Apakah Tuhan memiliki rencana
lain untuk kisah ini? Aku ingat saat kamu berkata bahwa, “siapa pun yang
bertanya tentang kita, akan aku katakan bahwa perkenalan ini dimulai karena
sapamu. Sapamu yang membuat kita sedekat ini. Aku tidak akan mengatakan pada
mereka bahwa aku yang terlebih dahulu menyapamu.”
Rasaku sering pergi dan kembali. Kembalinya
membuatku sadar bahwa aku tak pernah benar-benar berhenti mencintaimu. Namun
untuk kali ini izinkan rasaku untuk benar-benar pergi dan takkan kembali pada
sebuah masa yang seharusnya tak lagi kurasakan. Ya, masa kepiluan. Kamu yang
dapat membangkitkanku namun mengapa harus kamu pula yang menjatuhkanku? Aku
bukan reparasi yang selalu menjadi tempat perbaikanmu. Kamu ibarat mainan
anak-anak. Aku yang memperbaikimu namun bukan aku yang dapat memainkanmu (baca:
memilikimu).
“Yang banyak menanti bukan selalu jadi
penikmat. Yang lebih membutuhkan tidak selalu dilihat. Yang merapikan tidak
selalu diperuntukkan untuk bersama. Begitukah saya sebagai tokoh ‘yang’ di
kehidupanmu?” Diketik saat takbir berkumandang, saat hari kemenangan hampir
tiba, dan saat hari pukul 01.18 (Kamis, 8 Agustus 2013)
Jika memang bukan aku yang kamu inginkan untuk
menggenapkan ganjilmu, pergilah. Tinggalkan dengan satu kepastian. Tinggalkan
dengan rasa sakit yang sangat dalam namun hanya satu masa. Jangan pergi
kemudian kembali. Kepergianmu meninggalkan luka. Aku benci. Tapi kembalimu
selalu dapat melengkapi bagian yang sirna.
“Aku butuh kamu untuk menggenapkan rasa ini.
Rasa ini hanya satu dan hanya dariku. Bukan darimu. Ya, satu, ganjil, dan sendiri.
Mengapa kamu? Karena kamulah yang hatiku mau. Tapi nyatanya, kamu telah
menggenapkan rasa orang lain. Sosokmu nyata namun rasamu semu. Kadang iya dan
kadang tidak. Sehari kau jadikan aku wanita paling bahagia dan esok kau jadikan
aku bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Aku masih mengingat segala tentangmu
walau segala itu pilu. Aku harus berkata apa agar tak ada kesakitan ini? Aku
harus bertindak bagaimana?marah kemudian berlaku kasar?aku tak mampu. Karena
kamu pun menolak untuk kupertahankan. Dan pada akhirnya aku hanya membiarkanmu bersamanya.”
(Selasa, 25 Juni 2013, pukul 22.23)
Saat cinta dan rindu untukmu meranum, kamu
mengatakan sesuatu yang sangat menusukku. Dan kini sosoknya tak lagi kelabu,
sosoknya nyata di harimu. Dia milikmu walau entah apa status di antara kalian,
tapi setidaknya, hatinya selalu untukmu. Aku paham itu. Berbahagialah kamu,
lelaki berkumis tipis.
***
Ketika
peluhku tak lagi berarti
Ketika
hanya namanya yang selalu kau ingat
Ketika
jerit tangisku tak pernah kau dengar
Dan
ketika pintaku tak lagi kau gubris
Mengapa
aku masih membutuhkanmu?
Semua
jelas adanya
Bahwa
hanya dia, bukan aku
Kamu
membutuhkanku untuk merapikan dirimu
Saat
semua sudah sempurna,
Kesempurnan
itu kamu berikan kepadanya
Termasuk
kesempurnaan cintamu
Mengapa
aku masih membutuhkanmu?
Mengapa
aku masih sanggup membantumu
padahal
air mata ini tak henti menetes?
Mengapa
aku masih menjagamu ketika sebenarnya aku lelah?
Karena
aku mencintaimu
Mencintaimu
….
Tapi
apa pernah kau
membutuhkanku
lebih dari sekedar itu?
Pernahkah
kau membutuhkanku
seperti
halnya aku membutuhkanmu?
Aku
membutuhkanmu sebagai kekuatanku
Tapi
kamu membutuhkaku
sebagai
persinggahan
Sementara
dan takkan abadi
***
Aku terlalu lelah selalu kau bandingkan
dengannya. Aku adalah aku yang tak akan pernah menjadi dirinya. Katamu, kita
berdua akan bahagia jika telah ditempa rasa sakit yang hebat. Lalu aku
mengatakan “Aku telah kamu sakiti dengan kesakitan yang hebat. Tidak sekali,
melainkan berkali-kali. Apa aku masih tidak pantas untuk bahagia bersamamu?”
Kamu hanya diam seribu bahasa, menutup mulutmu rapat-rapat seakan apapun yang
kamu katakan adalah salah. Aku tahu jawabannya. Bukan karena aku tak pantas bahagia bersamamu, tapi karena
rasa sucimu hanya untuknya. Aku terlalu lemah untuk kau buat tegar dan aku
menyerah. Terkadang aku berpikir, aku yang tidak
layak untukmu atau kamu yang tidak layak untukku?
Aku tidak pernah membandingkanmu dengan masa
laluku, karena aku tahu setiap orang memiliki kelebihan yang berbeda. Mungkin,
kelebihan untuk memahami diri kita. Alasanku tidak pernah membangdingkanmu
dengannya adalah karena aku tahu kamu jelas lebih baik darinya, karena kamu
yang berhasil menghapus air mataku untuk pertama kalinya. Kalaupun kamu tak
lebih baik darinya, aku tidak akan membandingkan kalian dan mengatakannya di
depanmu karena seseorang di masa lalu dengan seseorang di masa kini harus aku
beri batasan. Jika aku mau, aku bisa katakan bahwa kamu tidak ada apa-apanya
dibanding dia dalam memahamiku karena 7 tahun aku dan dia saling mengenal namun
aku tidak pantas berkata demikian karena batasan yang aku katakan tadi. Setiap
orang memiliki posisi yang berbeda beda di kehidupan orang lain. Dan karena
itu, aku sadar bahwa sampai kapan pun posisi seseorang yang sekarang nyata dalam
hidupmu menempati taktha paling tinggi. Dan aku tidak ada apa-apanya.
Aku mencoba untuk dewasa menyikapi apa yang
terjadi dalam kisah ini. Dengan begini, secara tidak langsung kamu membiarkanku
untuk kembali ke masa lalu. Padahal, jika kamu segan untuk aku pertahankan, aku
memilih untuk tetap tinggal walaupun masa lalu itu kembali. Namun kenyataannya
berbeda dan aku hanya dapat melepasmu seperti burung yang bebas bersinggah di
sarang manapun. Bahagialah selalu dengan wanita pilihanmuJ
Diketik pada 9 Oktober 2013, 5.26 pm