Sabtu, 03 Desember 2011

Hujan Pagi
Bersama gerimis di atap
Tubuhku tumpah lewat pelimbahan
Ke setiap saluran yang mengalir ke sungai
Kota-kota tampat kita berkencan
Pergi tanpa meninggalkan pertanda


Aku makin basah
Dalam deras kian menjadi-jadi
Dan berharap bertemu denganmu di muara
Atau di laut yang mungkin telah menjadi pemisah


Ingin benar aku menjadi ombak
Yang mengarungi pantai-pantai tempat barangkali
Kau rebahan menikmati daun nyiur bernyanyi
Sambil mencatat kisah kita di lembaran diari


Tapi lagu lama membawaku kian jauh
Dalam selokan gelap yang tak tahu brakhir di mana


Mana mungkin bisa berjumpa
Meski tiap hari turun hujan

- Hendry Ch. Bangun

Musim Gugur No.4

Musim gugur ini
Takkan kukirim salam lewat angin
Seperti tahun-tahun kemarin
Kecuali rindu tak terperi


Sebab sejuta kata
Yang telah mekar jadi bunga
Di halaman rumputmu yang berubah kelabu
Tokh akan luruh bersama daun-daun maple itu


Mungkin jam akan seperti melambat
Karena tiap putaran yang menciptakan detak
Digelayuti harap sunyi yang sesak


Kalau kau ingin megenangku
Tolong nanti sisihkan sejumput bunga salju
Untuk menghalau dahaga yang kadang mengganggu


- Hendry Ch. Bangun

 


Merelakan untuk Kebahagiaan


Karya : Nilam Qisthia Nadhila


 


                Cinta memang anugerah terindah yang dimiliki oleh setiap insan, namun sayangnya di setiap cerita cinta pasti ada yang terluka. Cinta datang pada siapa saja, tidak memandang usia, jarak, bahkan status sekalipun, karena cinta berawal dari kenyamanan. Kenyamanan yang terlahir begitu saja. Satu dari setiap luka membawa kita bertemu cinta. Jika aku diizinkan untuk memilih sebelumnya, aku lebih memilih untuk tidak mengenal Arlon. Namun apa daya, waktu telah memilih kami untuk saling mengenal.


                Rabu itu terasa berbeda. Terik mentari telah menyinari bumi seperti biasanya dan burung-burung berkicau seolah mengerti akan perasaanku. Pagi itu aku merasa bahagia, karena aku akan bertemu Fatazka setelah pulang sekolah nanti. Fatazka, lelaki cuek yang dekat denganku dua tahun lalu dan enam bulan terakhir ini menjadi kekasihku. Fatazka berjanji akan mengabarkan kepastiannya untuk bertemu denganku melalui ponsel sahabatnya yang bernama Arlon. Pada jam istirahat, satu pesan singkat masuk ke ponselku. Nomor yang tidak aku kenali, namun isi pesan singkat itu adalah, hari ini aku jadi ke rumahmu ya. Di bawah isi pesan itu tertera nama “Fatazka.” Aku tersenyum membacanya, kemudian aku membalas, iya kutunggu di rumah. Tak kuduga ternyata setelah itu Arlon lah yang membalas pesan singkatku. Arlon balas dengan meledekku, cie cie yang mau ketemu sama Fatazka. Ini Arlon sahabatnya Fatazka. Aku menanggapinya dengan baik, karena aku menghargai Arlon sebagai sahabat Fatazka. Hingga akhirnya aku dan Arlon saling berbalas pesan singkat di kemudian hari.


                Dinara, sahabat baikku yang kukenal sembilan tahun lalu yang kerap kupanggil Ara membaca pesan singkatku dengan Arlon, kemudian Ara bertanya, “Hey, Arlon itu siapa?” aku menjawabnya dengan santai, “Oh Arlon. Dia sahabatnya Fatazka, Ra. Mau kenalan?” Ara hanya tersenyum sambil memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi. Kemudian aku bercerita banyak tentang Arlon kepada Ara hingga akhirnya Ara juga sering berbalas pesan singkat dengan Arlon. Seminggu sudah aku mengenal Arlon. Arlon sering bercerita perihal hubungannya dengan kekasihnya, persahabatannya dengan Fatazka dan juga ulah jahil mereka berdua saat jam pelajaran berlangsung. Aku merasa Fatazka tidak salah memilih sahabat, karena mereka berdua sama-sama jahil, sudah cocok. Tapi, bukan itu permasalahannya, setelah sekilas aku tahu kisah cinta Arlon dengan kekasihnya, aku mengambil kesimpulan bahwa kisah cintaku dengan Arlon memiliki persamaan. Kami sama-sama kurang mendapat perhatian dari kekasih masing-masing. Arlon yang jarang berkomunikasi dengan kekasihnya, karena jarak antara Jakarta-Bogor dan kekasihku sibuk dengan dirinya sendiri. Senang rasanya dapat mengenal Arlon, setidaknya ada yang menghiburku di saat Fatazka sibuk dengan urusannya sendiri. Aku belum pernah bertemu langsung dengan Arlon, hanya saja aku pernah melihat fotonya melalui jejaring sosial Facebook.


                Keesokan harinya, aku telah sepakat dengan Fatazka bahwa sepulang sekolah akan bertemu dengannya di sebuah cafe ternama. Tentunya tidak hanya berdua. Aku mengajak Ara, karena tempat itu agak jauh dari sekolah kami dan aku tidak berani kesana sendirian. Fatazka juga mengajak Arlon. Akhirnya, kami bertemu dengan Fatazka dan Arlon. “Ternyata ini yang namanya Arlon. Orang yang seminggu belakangan ini menemaniku berbalas pesan singkat,” gumamku dalam hati. Kesan pertamaku saat bertemu dengan Arlon adalah tinggi dan cool. Ia semakin terlihat cool saat memutar bola basket kesayangan miliknya. Sebenarnya hari itu Arlon telah berjanji untuk mengajarkanku bermain basket. Ya, Arlon handal dalam bermain basket. Tidak sepertiku yang sama sekali tidak paham mengenai basket, karena itu Arlon sering meledek dan berniat mengajarkanku bermain basket. Arlon menjadi ketua basket di teamnya dan sering menjuarai pertandingan. Sayangnya, tidak ada lahan untuk bermain basket di tempat itu, kami terpaksa mengurungkan niat tersebut. Setelah selesai berbincang-bincang, kami melanjutkan pertemuan kali itu dengan mengunjungi toko buku. Aku dan Ara membeli novel yang berbeda. Ara membeli novel yang dipilihkan oleh Arlon, sedangkan aku membeli novel yang memang sudah kuincar sejak lama. Kami berempat pulang pukul empat sore.


                Seperti yang aku katakan tadi, Ara adalah sahabat yang kukenal sejak sembilan tahun silam. Orangtua kami saling mengenal, kami memiliki banyak persamaan, dan kami pun sering menghabiskan waktu liburan bersama. Aku dan Ara tidak dapat berbohong mengenai hal apapun, karena cepat atau lambat pasti akan terungkap. Ara mengetahui bahwa aku menyukai Arlon sejak kami saling berbalas pesan singkat. Hal itu terkesan klise. Kurasa semua orang pernah mengalami hal yang sama denganku, mungkin ini hanya sebuah kekaguman dan kenyamanan. Toh, aku masih sangat menyayangi Fatazka. Namun, perasaan nyaman terhadap Arlon semakin besar dan itu hadir dalam diriku. Aku tak tahu apa yang Arlon rasakan kepadaku, tapi Arlon sering memujiku lewat pesan singkat. Seandainya kamu yang menjadi kekasihku, mungkin aku sangat bahagia. Kamu bisa mengerti aku. Perasaan nyamanku terhadap Arlon berkemelut dalam diriku. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan.


Tak terasa sebulan sudah kedekatanku dengan Arlon terjalin. Arlon putus dengan kekasihnya. Ara pun mengetahui masalah ini. Kemudian Ara menunjukan rasa empatinya pada Arlon sebagai seorang teman yang baik. Suatu malam Arlon mengirimkan pesan singkat untukku. Hey, mungkinkah Ara akan menjadi pengganti dari kekasihku sebelumnya? Aku membalasnya, mungkin saja, Lon. Apa yang tidak mungkin di dunia ini? Semua hal bisa menjadi mungkin jika Ia berkehendak. Keesokan harinya di sekolah, Ara bertanya kepadaku, “Apa kamu percaya kalau aku suka sama Arlon? Dia anak yang baik dan dewasa. Dia orang yang bisa mengerti aku.” Aku diam sejenak dan menjawab, “Aku percaya, Ra. Menurutku cinta bisa datang kepada siapapun dan kapanpun.”


Esok adalah hari Sabtu. Seperti biasanya, Ara pergi bermain bersama sahabat-sahabatku yang lain. Kali ini aku yang mendapat giliran untuk menjadi tuan rumah. Saat Ara sedang sibuk mencari gambar cartoon  favoritnya di laptopku, aku membuka ponselnya dan menemukan satu pesan singkat dari Arlon yang berisi, kenapa aku harus menunggu yang gak pasti kalau di depan mataku ada yang pasti? Aku tahu maksud isi pesan singkat itu dan aku tak kuasa untuk terus membaca  seluruh pesan singkat dari Arlon, karena aku tahu pasti akan ada kata-kata yang membuat hatiku lebih tertusuk. Empat hari kemudian, saat aku sedang berteduh di depan sebuah salon kecantikan, dua pesan singkat masuk ke ponselku. Dari Ara dan Arlon. Kubuka satu per satu pesan singkat tersebut. Isi pesan singkat dari Arlon adalah, Ara udah jadian :’( Sedangkan isi pesan singkat dari Ara adalah, aku pacaran sama Arlon. Apa aku salah? Hujan yang mengguyur wilayah Sunter pun serasa mengguyur hatiku. Aku sudah tidak sanggup untuk membendung air mataku saat itu. Akhirnya, aku memaksa ojekku untuk terus berjalan dan menerobos guyuran hujan. Akibat ulahku sendiri, aku menjadi sakit. Aku baru membalas pesan singkat dari Ara setelah aku tiba di rumah. Aku membalas dengan setengah hati, selamat ya, Ra. Sudah dulu ya aku sedang sakit tadi kehujanan. Aku tidak membalas pesan singkat dari Arlon. Aku benci keadaan seperti ini. Arlon berbohong kepadaku, ternyata Ara berpacaran dengan Arlon, namun Arlon memasang raut wajah menangis di pesan singkat yang ia kirimkan kepadaku tadi.


Entah apa yang harus kulakukan. “Apakah menyukai seseorang karena dia mengerti itu salah?” gumamku dalam hati. Aku ingin bertanya kepada semua orang tentang itu. Namun, kutahu jawabannya adalah “tidak salah.” Hanya saja perasaan nyaman itu tidak harus hadir pada seseorang yang telah memiliki kekasih. Rasanya aku ingin semua orang tahu perasaanku. Aku bukan tidak menyayangi Fatazka, namun aku lelah jika harus selalu mengerti dirinya tanpa ia mengerti aku. Sedangkan di lain sisi, ada Arlon yang senasib denganku dan Arlon adalah lelaki yang cukup dewasa untuk mengertiku. Arlon telah membuatku nyaman. Aku menyimpulkan bahwa aku telah mengkhianati Fatazka, karena perasaanku kepada Arlon. Ya, aku salah. Aku yang egois. Fatazka tidak pantas disakiti olehku. Perasaan ini tidak seharusnya ada.  Aku lelah meghadapinya. Ditambah lagi dengan Arlon yang menjalin kasih dengan sahabatku sendiri. Sahabat yang mengetahui perasaanku pada Arlon. Mulai hari itu aku berusaha untuk menjauh dari Dinara dan Arlon. Aku tidak membenci mereka. Aku hanya sedang mencoba menerima kenyataan yang baru saja terjadi di hidupku dan bertanya-tanya “Mengapa kemarin-kemarin Ara sangat sulit untuk menemukan orang lain untuk ia cintai ? Mengapa harus Arlon yang merubah hidup Ara sekarang? Dan mengapa Ara harus mengenal Arlon dariku?” Pertanyaan itu terus berkecamuk dalam pikiran dan hatiku.


Hari pertama setelah mereka resmi menjadi sepasang kekasih, aku masih memilih untuk bungkam. Menyapa Ara pun tidak kulakukan. Semalaman aku berpikir, “Apa gunanya berdiam diri seperti ini? Toh semua tidak menyelesaikan masalahku dengan Ara.” Aku tidak dapat menjauh dari Ara, karena segala sesuatunya tentangku pasti ada kaitannya dengan Ara. Saat di sekolah, Ara bertanya padaku, “Apa aku salah mencintai Arlon? Apa keputusanku untuk menerimanya menjadi kekasihku juga salah?” Aku tak kuasa untuk menjawab dan menatap mata Ara. Bagaikan palu yang menghantam sebuah benda dengan keras dan tepat sasaran. Saat itu detak jantungku serasa berhenti, namun waktu menyuruhku untuk segera menjawab dan mengambil keputusan tanpa kepalsuan. Aku hanya menjawab, “ Kamu tidak salah, Ara. Aku yang salah. Aku yang egois. Aku kan sudah punya Fatazka. Aku juga tidak ingin melihatmu terus terlarut dalam kesedihan, karena bayangan seseorang yang sangat kamu cintai di masa lalu.” Sejak saat itu, aku dan Ara kembali bersahabat seperti biasa tanpa ada kecanggungan di antara kami. Mungkin, aku harus lebih mensyukuri apapun nikmat yang telah diberikan oleh-Nya kepadaku. Nikmat karena memiliki sahabat seperti Dinara dan kekasih seperti Fatazka. Aku pun sudah bersikap biasa kepada Arlon.


Cinta dan sahabat memang pilihan yang sulit untuk dipilih. Terkadang, kita lebih memilih cinta, karena pada saat itu cinta memberikan kita kebahagiaan. Namun ingatlah bahwa cinta kepada kekasih itu sewaktu-waktu akan kandas, namun cinta seorang sahabat tak akan kandas. Sahabatlah yang sesungguhnya ada untuk kita saat kita terjatuh. Sahabat selalu meluangkan waktunya untuk mendengarkan keluh kesah kita, walaupun mungkin saat itu juga keadaannya sedang terpuruk. Kini pelangi kembali indah untuk dilihat oleh kami berempat, karena kami percaya takdir itu jelas. Aku bukan untuk Arlon. Arlon hanya untuk Dinara. Begitupun aku dengan Fatazka yang saling mencintai.