Hujan Pagi
Bersama gerimis di atap
Tubuhku tumpah lewat pelimbahan
Ke setiap saluran yang mengalir ke sungai
Kota-kota tampat kita berkencan
Pergi tanpa meninggalkan pertanda
Aku makin basah
Dalam deras kian menjadi-jadi
Dan berharap bertemu denganmu di muara
Atau di laut yang mungkin telah menjadi pemisah
Ingin benar aku menjadi ombak
Yang mengarungi pantai-pantai tempat barangkali
Kau rebahan menikmati daun nyiur bernyanyi
Sambil mencatat kisah kita di lembaran diari
Tapi lagu lama membawaku kian jauh
Dalam selokan gelap yang tak tahu brakhir di mana
Mana mungkin bisa berjumpa
Meski tiap hari turun hujan
- Hendry Ch. Bangun
Musim gugur ini
Takkan kukirim salam lewat angin
Seperti tahun-tahun kemarin
Kecuali rindu tak terperi
Sebab sejuta kata
Yang telah mekar jadi bunga
Di halaman rumputmu yang berubah kelabu
Tokh akan luruh bersama daun-daun maple itu
Mungkin jam akan seperti melambat
Karena tiap putaran yang menciptakan detak
Digelayuti harap sunyi yang sesak
Kalau kau ingin megenangku
Tolong nanti sisihkan sejumput bunga salju
Untuk menghalau dahaga yang kadang mengganggu
- Hendry Ch. Bangun
Merelakan untuk Kebahagiaan
Karya : Nilam
Qisthia Nadhila
Cinta memang anugerah terindah yang
dimiliki oleh setiap insan, namun sayangnya di setiap cerita cinta pasti ada
yang terluka. Cinta datang pada siapa saja, tidak memandang usia, jarak, bahkan
status sekalipun, karena cinta berawal dari kenyamanan. Kenyamanan yang
terlahir begitu saja. Satu dari setiap luka membawa kita bertemu cinta. Jika
aku diizinkan untuk memilih sebelumnya, aku lebih memilih untuk tidak mengenal
Arlon. Namun apa daya, waktu telah memilih kami untuk saling mengenal.
Rabu itu terasa berbeda. Terik
mentari telah menyinari bumi seperti biasanya dan burung-burung berkicau seolah
mengerti akan perasaanku. Pagi itu aku merasa bahagia, karena aku akan bertemu
Fatazka setelah pulang sekolah nanti. Fatazka, lelaki cuek yang dekat denganku
dua tahun lalu dan enam bulan terakhir ini menjadi kekasihku. Fatazka berjanji
akan mengabarkan kepastiannya untuk bertemu denganku melalui ponsel sahabatnya
yang bernama Arlon. Pada jam istirahat, satu pesan singkat masuk ke ponselku.
Nomor yang tidak aku kenali, namun isi pesan singkat itu adalah, hari ini aku jadi ke rumahmu ya. Di bawah
isi pesan itu tertera nama “Fatazka.” Aku tersenyum membacanya, kemudian aku
membalas, iya kutunggu di rumah. Tak
kuduga ternyata setelah itu Arlon lah yang membalas pesan singkatku. Arlon balas
dengan meledekku, cie cie yang mau ketemu
sama Fatazka. Ini Arlon sahabatnya Fatazka. Aku menanggapinya dengan baik,
karena aku menghargai Arlon sebagai sahabat Fatazka. Hingga akhirnya aku dan
Arlon saling berbalas pesan singkat di kemudian hari.
Dinara, sahabat baikku yang
kukenal sembilan tahun lalu yang kerap kupanggil Ara membaca pesan singkatku
dengan Arlon, kemudian Ara bertanya, “Hey, Arlon itu siapa?” aku menjawabnya
dengan santai, “Oh Arlon. Dia sahabatnya Fatazka, Ra. Mau kenalan?” Ara hanya
tersenyum sambil memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi. Kemudian aku
bercerita banyak tentang Arlon kepada Ara hingga akhirnya Ara juga sering
berbalas pesan singkat dengan Arlon. Seminggu sudah aku mengenal Arlon. Arlon
sering bercerita perihal hubungannya dengan kekasihnya, persahabatannya dengan
Fatazka dan juga ulah jahil mereka berdua saat jam pelajaran berlangsung. Aku
merasa Fatazka tidak salah memilih sahabat, karena mereka berdua sama-sama
jahil, sudah cocok. Tapi, bukan itu permasalahannya, setelah sekilas aku tahu
kisah cinta Arlon dengan kekasihnya, aku mengambil kesimpulan bahwa kisah
cintaku dengan Arlon memiliki persamaan. Kami sama-sama kurang mendapat
perhatian dari kekasih masing-masing. Arlon yang jarang berkomunikasi dengan kekasihnya,
karena jarak antara Jakarta-Bogor dan kekasihku sibuk dengan dirinya sendiri. Senang
rasanya dapat mengenal Arlon, setidaknya ada yang menghiburku di saat Fatazka
sibuk dengan urusannya sendiri. Aku belum pernah bertemu langsung dengan Arlon,
hanya saja aku pernah melihat fotonya melalui jejaring sosial Facebook.
Keesokan harinya, aku telah sepakat
dengan Fatazka bahwa sepulang sekolah akan bertemu dengannya di sebuah cafe
ternama. Tentunya tidak hanya berdua. Aku mengajak Ara, karena tempat itu agak jauh
dari sekolah kami dan aku tidak berani kesana sendirian. Fatazka juga mengajak
Arlon. Akhirnya, kami bertemu dengan Fatazka dan Arlon. “Ternyata ini yang
namanya Arlon. Orang yang seminggu belakangan ini menemaniku berbalas pesan
singkat,” gumamku dalam hati. Kesan pertamaku saat bertemu dengan Arlon adalah
tinggi dan cool. Ia semakin terlihat cool saat memutar bola basket kesayangan
miliknya. Sebenarnya hari itu Arlon telah berjanji untuk mengajarkanku bermain
basket. Ya, Arlon handal dalam bermain basket. Tidak sepertiku yang sama sekali
tidak paham mengenai basket, karena itu Arlon sering meledek dan berniat
mengajarkanku bermain basket. Arlon menjadi ketua basket di teamnya dan sering menjuarai
pertandingan. Sayangnya, tidak ada lahan untuk bermain basket di tempat itu, kami
terpaksa mengurungkan niat tersebut. Setelah selesai berbincang-bincang, kami
melanjutkan pertemuan kali itu dengan mengunjungi toko buku. Aku dan Ara membeli
novel yang berbeda. Ara membeli novel yang dipilihkan oleh Arlon, sedangkan aku
membeli novel yang memang sudah kuincar sejak lama. Kami berempat pulang pukul
empat sore.
Seperti yang aku katakan tadi, Ara
adalah sahabat yang kukenal sejak sembilan tahun silam. Orangtua kami saling
mengenal, kami memiliki banyak persamaan, dan kami pun sering menghabiskan
waktu liburan bersama. Aku dan Ara tidak dapat berbohong mengenai hal apapun,
karena cepat atau lambat pasti akan terungkap. Ara mengetahui bahwa aku
menyukai Arlon sejak kami saling berbalas pesan singkat. Hal itu terkesan
klise. Kurasa semua orang pernah mengalami hal yang sama denganku, mungkin ini
hanya sebuah kekaguman dan kenyamanan. Toh, aku masih sangat menyayangi Fatazka.
Namun, perasaan nyaman terhadap Arlon semakin besar dan itu hadir dalam diriku.
Aku tak tahu apa yang Arlon rasakan kepadaku, tapi Arlon sering memujiku lewat
pesan singkat. Seandainya kamu yang
menjadi kekasihku, mungkin aku sangat bahagia. Kamu bisa mengerti aku. Perasaan
nyamanku terhadap Arlon berkemelut dalam diriku. Aku tak tahu apa yang harus aku
lakukan.
Tak
terasa sebulan sudah kedekatanku dengan Arlon terjalin. Arlon putus dengan
kekasihnya. Ara pun mengetahui masalah ini. Kemudian Ara menunjukan rasa
empatinya pada Arlon sebagai seorang teman yang baik. Suatu malam Arlon mengirimkan
pesan singkat untukku. Hey, mungkinkah Ara
akan menjadi pengganti dari kekasihku sebelumnya? Aku membalasnya, mungkin saja, Lon. Apa yang tidak mungkin di
dunia ini? Semua hal bisa menjadi mungkin jika Ia berkehendak. Keesokan
harinya di sekolah, Ara bertanya kepadaku, “Apa kamu percaya kalau aku suka
sama Arlon? Dia anak yang baik dan dewasa. Dia orang yang bisa mengerti aku.”
Aku diam sejenak dan menjawab, “Aku percaya, Ra. Menurutku cinta bisa datang
kepada siapapun dan kapanpun.”
Esok
adalah hari Sabtu. Seperti
biasanya, Ara pergi bermain bersama sahabat-sahabatku yang lain. Kali ini aku
yang mendapat giliran untuk menjadi tuan rumah. Saat Ara sedang sibuk
mencari gambar cartoon favoritnya di laptopku, aku membuka ponselnya
dan menemukan satu pesan singkat dari Arlon yang berisi, kenapa aku harus menunggu yang gak pasti kalau di depan mataku ada yang
pasti? Aku tahu maksud isi pesan singkat itu dan aku tak kuasa untuk terus
membaca seluruh pesan singkat dari
Arlon, karena aku tahu pasti akan ada kata-kata yang membuat hatiku lebih tertusuk.
Empat hari kemudian, saat aku sedang berteduh di depan sebuah salon kecantikan,
dua pesan singkat masuk ke ponselku. Dari Ara dan Arlon. Kubuka satu per satu
pesan singkat tersebut. Isi pesan singkat dari Arlon adalah, Ara udah jadian :’( Sedangkan isi pesan
singkat dari Ara adalah, aku pacaran sama
Arlon. Apa aku salah? Hujan yang mengguyur wilayah Sunter pun serasa
mengguyur hatiku. Aku sudah tidak sanggup untuk membendung air mataku saat itu.
Akhirnya, aku memaksa ojekku untuk terus berjalan dan menerobos guyuran hujan. Akibat
ulahku sendiri, aku menjadi sakit. Aku baru membalas pesan singkat dari Ara setelah
aku tiba di rumah. Aku membalas dengan setengah hati, selamat ya, Ra. Sudah dulu ya aku sedang sakit tadi kehujanan. Aku
tidak membalas pesan singkat dari Arlon. Aku benci keadaan seperti ini. Arlon
berbohong kepadaku, ternyata Ara berpacaran dengan Arlon, namun Arlon memasang
raut wajah menangis di pesan singkat yang ia kirimkan kepadaku tadi.
Entah
apa yang harus kulakukan. “Apakah menyukai seseorang karena dia mengerti itu
salah?” gumamku dalam hati. Aku ingin bertanya kepada semua orang tentang itu.
Namun, kutahu jawabannya adalah “tidak salah.” Hanya saja perasaan nyaman itu tidak
harus hadir pada seseorang yang telah memiliki kekasih. Rasanya aku ingin semua
orang tahu perasaanku. Aku bukan tidak menyayangi Fatazka, namun aku lelah jika
harus selalu mengerti dirinya tanpa ia mengerti aku. Sedangkan di lain sisi,
ada Arlon yang senasib denganku dan Arlon adalah lelaki yang cukup dewasa untuk
mengertiku. Arlon telah membuatku nyaman. Aku menyimpulkan bahwa aku telah
mengkhianati Fatazka, karena perasaanku kepada Arlon. Ya, aku salah. Aku yang
egois. Fatazka tidak pantas disakiti olehku. Perasaan ini tidak seharusnya
ada. Aku lelah meghadapinya. Ditambah
lagi dengan Arlon yang menjalin kasih dengan sahabatku sendiri. Sahabat yang
mengetahui perasaanku pada Arlon. Mulai hari itu aku berusaha untuk menjauh
dari Dinara dan Arlon. Aku tidak membenci mereka. Aku hanya sedang mencoba
menerima kenyataan yang baru saja terjadi di hidupku dan bertanya-tanya “Mengapa
kemarin-kemarin Ara sangat sulit untuk menemukan orang lain untuk ia cintai ?
Mengapa harus Arlon yang merubah hidup Ara sekarang? Dan mengapa Ara harus
mengenal Arlon dariku?” Pertanyaan itu terus berkecamuk dalam pikiran dan
hatiku.
Hari
pertama setelah mereka resmi menjadi sepasang kekasih, aku masih memilih untuk
bungkam. Menyapa Ara pun tidak kulakukan. Semalaman aku berpikir, “Apa gunanya
berdiam diri seperti ini? Toh semua tidak menyelesaikan masalahku dengan Ara.”
Aku tidak dapat menjauh dari Ara, karena segala sesuatunya tentangku pasti ada
kaitannya dengan Ara. Saat di sekolah, Ara bertanya padaku, “Apa aku salah mencintai
Arlon? Apa keputusanku untuk menerimanya menjadi kekasihku juga salah?” Aku tak
kuasa untuk menjawab dan menatap mata Ara. Bagaikan palu yang menghantam sebuah
benda dengan keras dan tepat sasaran. Saat itu detak jantungku serasa berhenti,
namun waktu menyuruhku untuk segera menjawab dan mengambil keputusan tanpa
kepalsuan. Aku hanya menjawab, “ Kamu tidak salah, Ara. Aku yang salah. Aku
yang egois. Aku kan sudah punya Fatazka. Aku juga tidak ingin melihatmu terus
terlarut dalam kesedihan, karena bayangan seseorang yang sangat kamu cintai di
masa lalu.” Sejak saat itu, aku dan Ara kembali bersahabat seperti biasa tanpa
ada kecanggungan di antara kami. Mungkin, aku harus lebih mensyukuri apapun
nikmat yang telah diberikan oleh-Nya kepadaku. Nikmat karena memiliki sahabat
seperti Dinara dan kekasih seperti Fatazka. Aku pun sudah bersikap biasa kepada
Arlon.
Cinta
dan sahabat memang pilihan yang sulit untuk dipilih. Terkadang, kita lebih
memilih cinta, karena pada saat itu cinta memberikan kita kebahagiaan. Namun
ingatlah bahwa cinta kepada kekasih itu sewaktu-waktu akan kandas, namun cinta
seorang sahabat tak akan kandas. Sahabatlah yang sesungguhnya ada untuk kita
saat kita terjatuh. Sahabat selalu meluangkan waktunya untuk mendengarkan keluh
kesah kita, walaupun mungkin saat itu juga keadaannya sedang terpuruk. Kini
pelangi kembali indah untuk dilihat oleh kami berempat, karena kami percaya
takdir itu jelas. Aku bukan untuk Arlon. Arlon hanya untuk Dinara. Begitupun aku
dengan Fatazka yang saling mencintai.